8.Struktur Produksi, Distribusi dan Pendapatan Kemiskinan
3.Distribusi Pendapatan Nasional & Kemiskinan
Masalah besar yang
dihadapi negara sedang berkembang adalah disparitas (ketimpangan) distribusi
pendapatan dan tingkat kemiskinan. Tidak meratanya distribusi pendapatan memicu
terjadinya ketimpangan pendapatan yang merupakan awal dari munculnya masalah
kemiskinan. Membiarkan kedua masalah tersebut berlarut-larut akan semakin
memperparah keadaan, dan tidak jarang dapat menimbulkan konsekuensi negatif terhadap
kondisi sosial dan politik.
Masalah kesenjangan
pendapatan dan kemiskinan tidak hanya dihadapi oleh negara sedang berkembang,
namun negara maju sekalipun tidak terlepas dari permasalahan ini. Perbedaannya
terletak pada proporsi atau besar kecilnya tingkat kesenjangan dan angka
kemiskinan yang terjadi, serta tingkat kesulitan mengatasinya yang dipengaruhi
oleh luas wilayah dan jumlah penduduk suatu negara. Semakin besar angka
kemiskinan, semakin tinggi pula tingkat kesulitan mengatasinya. Negara maju
menunjukkan tingkat kesenjangan pendapatan dan angka kemiskinan yang relative
kecil dibanding negara sedang berkembang, dan untuk mengatasinya tidak terlalu
sulit mengingat GDP dan GNP mereka relative tinggi. Walaupun demikian, masalah
ini bukan hanya menjadi masalah internal suatu negara, namun telah menjadi
permasalahan bagi dunia internasional.
Berbagai upaya yang telah dan sedang dilakukan oleh dunia internasional, baik berupa bantuan maupun pinjaman pada dasarnya merupakan upaya sistematis untuk memperkecil kesenjangan pendapatan dan tingkat kemiskinan yang terjadi di negara-negara miskin dan sedang berkembang. Beberapa lembaga internasional seperti IMF dan Bank Dunia serta lembaga-lembaga keuangan internasional lainnya berperan dalam hal ini. Kesalahan pengambilan kebijakan dalam pemanfaatan bantuan dan/ atau pinjaman tersebut, justru dapat berdampak buruk bagi struktur sosial dan perekonomian negara bersangkutan.
Perbedaan pendapatan timbul karena adanya perbedaan dalam kepemilikan sumber daya dan faktor produksi terutama kepemilikan barang modal (capital stock). Pihak (kelompok masyarakat) yang memiliki faktor produksi yang lebih banyak akan memperoleh pendapatan yang lebih banyak pula. Menurut teori neoklasik, perbedaan pendapatan dapat dikurangi melalui proses penyesuaian otomatis, yaitu melalui proses “penetasan” hasil pembangunan ke bawah (trickle down) dan kemudian menyebar sehingga menimbulkan keseimbangan baru. Apabila proses otomatis tersebut masih belum mampu menurunkan tingkat perbedaan pendapatan yang sangat timpang, maka dapat dilakukan melalui sistem perpajakan dan subsidi. Penetapan pajak pendapatan/penghasilan akan mengurangi pendapatan penduduk yang pendapatannya tinggi. Sebaliknya subsidi akan membantu penduduk yang pendapatannya rendah, asalkan tidak salah sasaran dalam pengalokasiannya. Pajak yang telah dipungut apalagi menggunakan sistem tarif progresif (semakin tinggi pendapatan, semakin tinggi prosentase tarifnya), oleh pemerintah digunakan untuk membiayai roda pemerintahan, subsidi dan proyek pembangunan. Dari sinilah terjadi proses redistribusi pendapatan yang akan mengurangi terjadinya ketimpangan.
Tingginya Produk Domestik Bruto (PDB) suatu negara belum tentu mencerminkan meratanya terhadap distribusi pendapatan. Kenyataan menunjukkan bahwa pendapatan masyarakat tidak selalu merata, bahkan kecendrungan yang terjadi justru sebaliknya. Distribusi pendapatan yang tidak merata akan mengakibatkan terjadinya disparitas. Semakin besar perbedaan pembagian “kue” pembangunan, semakin besar pula disparitas distribusi pendapatan yang terjadi. Indonesia yang tergolong dalam negara yang sedang berkembang tidak terlepas dari permasalahan ini.
Berbagai upaya yang telah dan sedang dilakukan oleh dunia internasional, baik berupa bantuan maupun pinjaman pada dasarnya merupakan upaya sistematis untuk memperkecil kesenjangan pendapatan dan tingkat kemiskinan yang terjadi di negara-negara miskin dan sedang berkembang. Beberapa lembaga internasional seperti IMF dan Bank Dunia serta lembaga-lembaga keuangan internasional lainnya berperan dalam hal ini. Kesalahan pengambilan kebijakan dalam pemanfaatan bantuan dan/ atau pinjaman tersebut, justru dapat berdampak buruk bagi struktur sosial dan perekonomian negara bersangkutan.
Perbedaan pendapatan timbul karena adanya perbedaan dalam kepemilikan sumber daya dan faktor produksi terutama kepemilikan barang modal (capital stock). Pihak (kelompok masyarakat) yang memiliki faktor produksi yang lebih banyak akan memperoleh pendapatan yang lebih banyak pula. Menurut teori neoklasik, perbedaan pendapatan dapat dikurangi melalui proses penyesuaian otomatis, yaitu melalui proses “penetasan” hasil pembangunan ke bawah (trickle down) dan kemudian menyebar sehingga menimbulkan keseimbangan baru. Apabila proses otomatis tersebut masih belum mampu menurunkan tingkat perbedaan pendapatan yang sangat timpang, maka dapat dilakukan melalui sistem perpajakan dan subsidi. Penetapan pajak pendapatan/penghasilan akan mengurangi pendapatan penduduk yang pendapatannya tinggi. Sebaliknya subsidi akan membantu penduduk yang pendapatannya rendah, asalkan tidak salah sasaran dalam pengalokasiannya. Pajak yang telah dipungut apalagi menggunakan sistem tarif progresif (semakin tinggi pendapatan, semakin tinggi prosentase tarifnya), oleh pemerintah digunakan untuk membiayai roda pemerintahan, subsidi dan proyek pembangunan. Dari sinilah terjadi proses redistribusi pendapatan yang akan mengurangi terjadinya ketimpangan.
Tingginya Produk Domestik Bruto (PDB) suatu negara belum tentu mencerminkan meratanya terhadap distribusi pendapatan. Kenyataan menunjukkan bahwa pendapatan masyarakat tidak selalu merata, bahkan kecendrungan yang terjadi justru sebaliknya. Distribusi pendapatan yang tidak merata akan mengakibatkan terjadinya disparitas. Semakin besar perbedaan pembagian “kue” pembangunan, semakin besar pula disparitas distribusi pendapatan yang terjadi. Indonesia yang tergolong dalam negara yang sedang berkembang tidak terlepas dari permasalahan ini.
Indikator Distribusi Pendapatan
* Distribusi Ukuran (Distribusi Pendapatan Perorangan)
* Kurva Lorenz
* Koefisien Gini
Distribusi Ukuran
(personal distribution of income)
* Distribusi pendapatan perseorangan (personal distribution of income) atau distribusi ukuran pendapatan (size distribution of income) merupakan indikator yang paling sering digunakan oleh para ekonom. Ukuran ini secara langsung menghitung jumlah penghasilan yang diterima oleh setiap individu atau rumah tangga.
* Yang diperhatikan di sini adalah seberapa banyak pendapatan yang diterima seseorang, tidak peduli dari mana sumbernya, entah itu bunga simpanan atau tabungan, laba usaha, utang, hadiah ataupun warisan.
* Lokasi sumber penghasilan (desa atau kota) maupun sektor atau bidang kegiatan yang menjadi sumber penghasilan (pertanian, industri, perdagangan, dan jasa) juga diabaikan.
* Bila si X dan si Y masing-masing menerima pendapatan yang sama per tahunnya, maka kedua orang tersebut langsung dimasukkan ke dalam satu kelompok atau satu kategori penghasilan yang sama, tanpa mempersoalkan bahwa si X memperoleh uangnya dari membanting tulang selama 15 jam sehari, sedangkan si Y hanya ongkang-ongkang kaki menunggu bunga harta warisan yang didepositokannya.
* Berdasarkan pendapatan tsb, lalu dikelompokkan menjadi lima kelompok, biasa disebut kuintil (quintiles) atau sepuluh kelompok yang disebut desil (decile) sesuai dengan tingkat pendapatan mereka, kemudian menetapkan proporsi yang diterima oleh masing-masing kelompok.
* Selanjutnya dihitung berapa % dari pendapatan nasional yang diterima oleh masing-masing kelompok, dan bertolak dari perhitungan ini mereka langsung memperkirakan tingkat pemerataan atau tingkat ketimpangan distribusi pendapatan di masyarakat atau negara yang bersangkutan.
* Indikator yang memperlihatkan tingkat ketimpangan atau pemerataan distribusi pendapatan diperoleh dari kolom 3, yaitu perbandingan antara pendapatan yang diterima oleh 40 persen anggota kelompok bawah (mewakili lapisan penduduk termiskin) dan 20 persen anggota kelompok atas (lapisan penduduk terkaya).
* Rasio inilah yang sering dipakai sebagai ukuran tingkat ketidakmerataan antara dua kelompok ekstrem, yaitu kelompok yang sangat miskin dan kelompok yang sangat kaya di dalam suatu negara. Rasio ketidakmerataan dalam contoh di atas adalah 14 dibagi dengan 51, atau sekitar 1 berbanding 3,7 atau 0,28.
* Peta pendapatan jika total populasi dibagi menjadi sepuluh kelompok (desil) yang masing-masing menguasai pangsa 10 persen pada kolom 4.
* 10 persen populasi terbawah (dua individu atau rumah tangga yang paling miskin) hanya menerima 1,8 persen dari total pendapatan, sedangkan 10 persen kelompok teratas (dua individu atau rumah tangga terkaya) menerima 28,5 persen dari pendapatan nasional.
* Bila ingin diketahui berapa yang diterima oleh 5 persen kelompok teratas, maka jumlah penduduknya harus dibagi menjadi 20 kelompok yang masing-masing anggotanya sama (masing-masing kelompok terdiri dari satu individu) dan kemudian dihitung persentase total pendapatan yang diterima oleh lima kelompok teratas dari pendapatan nasional atau total pendapatan yang diterima oleh kedua puluh kelompok tersebut.
* Dari Tabel 5-1, kita bisa mengetahui bahwa pendapatan 5 persen penduduk terkaya (20 individu) menerima 15 persen dari pendapatan, lebih tinggi dibandingkan dengan total pendapatan dari 40 persen kelompok terendah (40 persen rumah tangga yang paling miskin).
Kurva Lorenz
* Sumbu horisontal menyatakan jumlah penerimaan pendapatan dalam persentase kumulatif. Misalnya, pada titik 20 kita mendapati populasi atau kelompok terendah (penduduk yang paling miskin) yang jumlahnya meliputi 20 persen dari jumlah total penduduk. Pada titik 60 terdapat 60 persen kelompok bawah, demikian seterusnya sampai pada sumbu yang paling ujung yang meliputi 100 persen atau seluruh populasi atau jumlah penduduk.
* Sumbu vertikal menyatakan bagian dari total pendapatan yang diterima oleh masing-masing persentase jumlah (kelompok) penduduk tersebut. Sumbu tersebut juga berakhir pada titik 100 persen, sehingga kedua sumbu (vertikal dan horisontal) sama panjangnya.
* Setiap titik yang terdapat pada garis diagonal melambangkan persentase jumlah penerimanya (persentase penduduk yang menerima pendapatan itu terdapat total penduduk atau populasi). Sebagai contoh, titik tengah garis diagonal melambangkan 50 persen pendapatan yang tepat didistribusikan untuk 50 persen dari jumlah penduduk.
* Titik yang terletak pada posisi tiga perempat garis diagonal melambangkan 75 persen pendapatan nasional yang didistribusikan kepada 75 persen dari jumlah penduduk.
* Garis diagonal merupakan garis "pemerataan sempurna" (perfect equality) dalam distribusi ukuran pendapatan.
* Persentase pendapatan yang ditunjukkan oleh titik-titik di sepanjang garis diagonal tersebut persis sama dengan persentase penduduk penerimanya terhadap total penduduk.
* Titik A menunjukkan bahwa 10 persen kelompok terbawah (termiskin) dari total penduduk hanya menerima 1,8 persen total pendapatan (pendapatan nasional).
* Titik B menunjukkan bahwa 20 persen kelompok terbawah yang hanya menerima 5 persen dari total pendapatan, demikian seterusnya bagi masing-masing 8 kelompok lainnya. Perhatikanlah bahwa titik tengah, menunjukkan 50 persen penduduk hanya menerima 19,8 persen dari total pendapatan.
* Semakin tinggi derajat ketidakmerataan, kurva Lorenz akan semakin melengkung (cembung) dan semakin mendekati sumbu horizontal sebelah bawah.
Figur (a):
Distribusi pendapatan yang relatif merata
(ketimpangannya tidak parah).
Figur (b):
Distribusi pendapatan yang relatif tidak merata
(ketimpangannya parah)
Koefisien Gini dan Ukuran Ketimpangan
* Pengukuran tingkat ketimpangan atau ketidakmerataan pendapatan yang relatif sangat sederhana pada suatu negara dapat diperoleh dengan menghitung rasio bidang yang terletak antara garis diagonal dan kurva Lorenz dibagi dengan luas separuh bidang di mana kurva Lorenz itu berada.
* Pada Figur 5-6, rasio yang dimaksud adalah rasio atau perbandingan bidang A terhadap total segitiga BCD. Rasio inilah yang dikenal sebagai rasio konsentrasi Gini (Gini concentration ratio) yang seringkali disingkat dengan istilah koefisien Gini (Gini coefficient).
* Istilah tersebut diambil dari nama seorang ahli statistik Italia yang pertama kali merumuskannya pada tahun 1912.
Koefisien Gini dan Ukuran Ketimpangan Agregat
* Pengukuran tingkat ketimpangan atau ketidakmerataan pendapatan yang relatif sangat sederhana pada suatu negara dapat diperoleh dengan menghitung rasio bidang yang terletak antara garis diagonal dan kurva Lorenz dibagi dengan luas separuh bidang di mana kurva Lorenz itu berada.
* Pada Figur 5-6, rasio yang dimaksud adalah rasio atau perbandingan bidang A terhadap total segitiga BCD. Rasio inilah yang dikenal sebagai rasio konsentrasi Gini (Gini concentration ratio) yang seringkali disingkat dengan istilah koefisien Gini (Gini coefficient).
* Istilah tersebut diambil dari nama seorang ahli statistik Italia yang pertama kali merumuskannya pada tahun 1912.
* Koefisien Gini adalah ukuran ketidakmerataan atau ketimpangan (pendapatan/ kesejahteraan) agregat (secara keseluruhan) yang angkanya berkisar antara nol (pemerataan sempurna) hingga satu (ketimpangan yang sempurna).
* Angka ketimpangan untuk negara-negara yang ketimpangan pendapatan di kalangan penduduknya dikenal tajam berkisar antara 0,50 hingga 0,70.
* Untuk negara-negara yang distribusi pendapatannya dikenal relatif paling baik (paling merata), berkisar antara 0,20 sampai 0,35.
* Distribusi Ukuran (Distribusi Pendapatan Perorangan)
* Kurva Lorenz
* Koefisien Gini
Distribusi Ukuran
(personal distribution of income)
* Distribusi pendapatan perseorangan (personal distribution of income) atau distribusi ukuran pendapatan (size distribution of income) merupakan indikator yang paling sering digunakan oleh para ekonom. Ukuran ini secara langsung menghitung jumlah penghasilan yang diterima oleh setiap individu atau rumah tangga.
* Yang diperhatikan di sini adalah seberapa banyak pendapatan yang diterima seseorang, tidak peduli dari mana sumbernya, entah itu bunga simpanan atau tabungan, laba usaha, utang, hadiah ataupun warisan.
* Lokasi sumber penghasilan (desa atau kota) maupun sektor atau bidang kegiatan yang menjadi sumber penghasilan (pertanian, industri, perdagangan, dan jasa) juga diabaikan.
* Bila si X dan si Y masing-masing menerima pendapatan yang sama per tahunnya, maka kedua orang tersebut langsung dimasukkan ke dalam satu kelompok atau satu kategori penghasilan yang sama, tanpa mempersoalkan bahwa si X memperoleh uangnya dari membanting tulang selama 15 jam sehari, sedangkan si Y hanya ongkang-ongkang kaki menunggu bunga harta warisan yang didepositokannya.
* Berdasarkan pendapatan tsb, lalu dikelompokkan menjadi lima kelompok, biasa disebut kuintil (quintiles) atau sepuluh kelompok yang disebut desil (decile) sesuai dengan tingkat pendapatan mereka, kemudian menetapkan proporsi yang diterima oleh masing-masing kelompok.
* Selanjutnya dihitung berapa % dari pendapatan nasional yang diterima oleh masing-masing kelompok, dan bertolak dari perhitungan ini mereka langsung memperkirakan tingkat pemerataan atau tingkat ketimpangan distribusi pendapatan di masyarakat atau negara yang bersangkutan.
* Indikator yang memperlihatkan tingkat ketimpangan atau pemerataan distribusi pendapatan diperoleh dari kolom 3, yaitu perbandingan antara pendapatan yang diterima oleh 40 persen anggota kelompok bawah (mewakili lapisan penduduk termiskin) dan 20 persen anggota kelompok atas (lapisan penduduk terkaya).
* Rasio inilah yang sering dipakai sebagai ukuran tingkat ketidakmerataan antara dua kelompok ekstrem, yaitu kelompok yang sangat miskin dan kelompok yang sangat kaya di dalam suatu negara. Rasio ketidakmerataan dalam contoh di atas adalah 14 dibagi dengan 51, atau sekitar 1 berbanding 3,7 atau 0,28.
* Peta pendapatan jika total populasi dibagi menjadi sepuluh kelompok (desil) yang masing-masing menguasai pangsa 10 persen pada kolom 4.
* 10 persen populasi terbawah (dua individu atau rumah tangga yang paling miskin) hanya menerima 1,8 persen dari total pendapatan, sedangkan 10 persen kelompok teratas (dua individu atau rumah tangga terkaya) menerima 28,5 persen dari pendapatan nasional.
* Bila ingin diketahui berapa yang diterima oleh 5 persen kelompok teratas, maka jumlah penduduknya harus dibagi menjadi 20 kelompok yang masing-masing anggotanya sama (masing-masing kelompok terdiri dari satu individu) dan kemudian dihitung persentase total pendapatan yang diterima oleh lima kelompok teratas dari pendapatan nasional atau total pendapatan yang diterima oleh kedua puluh kelompok tersebut.
* Dari Tabel 5-1, kita bisa mengetahui bahwa pendapatan 5 persen penduduk terkaya (20 individu) menerima 15 persen dari pendapatan, lebih tinggi dibandingkan dengan total pendapatan dari 40 persen kelompok terendah (40 persen rumah tangga yang paling miskin).
Kurva Lorenz
* Sumbu horisontal menyatakan jumlah penerimaan pendapatan dalam persentase kumulatif. Misalnya, pada titik 20 kita mendapati populasi atau kelompok terendah (penduduk yang paling miskin) yang jumlahnya meliputi 20 persen dari jumlah total penduduk. Pada titik 60 terdapat 60 persen kelompok bawah, demikian seterusnya sampai pada sumbu yang paling ujung yang meliputi 100 persen atau seluruh populasi atau jumlah penduduk.
* Sumbu vertikal menyatakan bagian dari total pendapatan yang diterima oleh masing-masing persentase jumlah (kelompok) penduduk tersebut. Sumbu tersebut juga berakhir pada titik 100 persen, sehingga kedua sumbu (vertikal dan horisontal) sama panjangnya.
* Setiap titik yang terdapat pada garis diagonal melambangkan persentase jumlah penerimanya (persentase penduduk yang menerima pendapatan itu terdapat total penduduk atau populasi). Sebagai contoh, titik tengah garis diagonal melambangkan 50 persen pendapatan yang tepat didistribusikan untuk 50 persen dari jumlah penduduk.
* Titik yang terletak pada posisi tiga perempat garis diagonal melambangkan 75 persen pendapatan nasional yang didistribusikan kepada 75 persen dari jumlah penduduk.
* Garis diagonal merupakan garis "pemerataan sempurna" (perfect equality) dalam distribusi ukuran pendapatan.
* Persentase pendapatan yang ditunjukkan oleh titik-titik di sepanjang garis diagonal tersebut persis sama dengan persentase penduduk penerimanya terhadap total penduduk.
* Titik A menunjukkan bahwa 10 persen kelompok terbawah (termiskin) dari total penduduk hanya menerima 1,8 persen total pendapatan (pendapatan nasional).
* Titik B menunjukkan bahwa 20 persen kelompok terbawah yang hanya menerima 5 persen dari total pendapatan, demikian seterusnya bagi masing-masing 8 kelompok lainnya. Perhatikanlah bahwa titik tengah, menunjukkan 50 persen penduduk hanya menerima 19,8 persen dari total pendapatan.
* Semakin tinggi derajat ketidakmerataan, kurva Lorenz akan semakin melengkung (cembung) dan semakin mendekati sumbu horizontal sebelah bawah.
Figur (a):
Distribusi pendapatan yang relatif merata
(ketimpangannya tidak parah).
Figur (b):
Distribusi pendapatan yang relatif tidak merata
(ketimpangannya parah)
Koefisien Gini dan Ukuran Ketimpangan
* Pengukuran tingkat ketimpangan atau ketidakmerataan pendapatan yang relatif sangat sederhana pada suatu negara dapat diperoleh dengan menghitung rasio bidang yang terletak antara garis diagonal dan kurva Lorenz dibagi dengan luas separuh bidang di mana kurva Lorenz itu berada.
* Pada Figur 5-6, rasio yang dimaksud adalah rasio atau perbandingan bidang A terhadap total segitiga BCD. Rasio inilah yang dikenal sebagai rasio konsentrasi Gini (Gini concentration ratio) yang seringkali disingkat dengan istilah koefisien Gini (Gini coefficient).
* Istilah tersebut diambil dari nama seorang ahli statistik Italia yang pertama kali merumuskannya pada tahun 1912.
Koefisien Gini dan Ukuran Ketimpangan Agregat
* Pengukuran tingkat ketimpangan atau ketidakmerataan pendapatan yang relatif sangat sederhana pada suatu negara dapat diperoleh dengan menghitung rasio bidang yang terletak antara garis diagonal dan kurva Lorenz dibagi dengan luas separuh bidang di mana kurva Lorenz itu berada.
* Pada Figur 5-6, rasio yang dimaksud adalah rasio atau perbandingan bidang A terhadap total segitiga BCD. Rasio inilah yang dikenal sebagai rasio konsentrasi Gini (Gini concentration ratio) yang seringkali disingkat dengan istilah koefisien Gini (Gini coefficient).
* Istilah tersebut diambil dari nama seorang ahli statistik Italia yang pertama kali merumuskannya pada tahun 1912.
* Koefisien Gini adalah ukuran ketidakmerataan atau ketimpangan (pendapatan/ kesejahteraan) agregat (secara keseluruhan) yang angkanya berkisar antara nol (pemerataan sempurna) hingga satu (ketimpangan yang sempurna).
* Angka ketimpangan untuk negara-negara yang ketimpangan pendapatan di kalangan penduduknya dikenal tajam berkisar antara 0,50 hingga 0,70.
* Untuk negara-negara yang distribusi pendapatannya dikenal relatif paling baik (paling merata), berkisar antara 0,20 sampai 0,35.
Kemiskinan yang
dikemukakan oleh beberapa ahli
kemiskinan dan
kebodohan). Sedangkan pendidikan lebih memerdekakan manusia dari aspek hidup
batin (otonomi berpikir dan mengambil keputusan, martabat, mentalitas
demokratik). Keinginan yang kuat dari Ki Hajar Dewantara untuk generasi bangsa
ini dan mengingat pentingnya guru yang memiliki kelimpahan mentalitas,
moralitas dan spiritualitas. Beliau sendiri untuk kepentingan mendidik,
meneladani dan pendidikan generasi bangsa ini telah mengubah namanya dari
ningratnya sebagai Raden Mas soewardi Sury ...
Dalam berbagai sumber tulisan tentang pendidikan Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan harus dimulai dari persamaanpersepsi pemangku pendidikan tentang mendidik itu sendiri. Menurut Kihajar Dewantara mendidik dalam arti yangsesungguhnya adalah proses memanusiakan manusia (humanisasi), yakni pengangkatan manusia ke taraf insani. Di dalammendidik ada pembelajaran yang merupakan komunikasi eksistensi manusiawi yang otentik kepada manusia, untukdimiliki, dilanjutkan dan disempurnakan. Jadi sesungguhnya pendidikan adalah usaha bangsa ini membawa manusiaIndonesia keluar dari kebodohan, dengan membuka tabir aktual-transenden dari sifat alami manusia (humanis). Menurut KiHajar Dewantara tujuan pendidikan adalah penguasaan diri sebab di sinilah pendidikan memanusiawikan manusia(humanisasi). Penguasaan diri merupakan langkah yang harus dituju untuk tercapainya pendidikan yang mamanusiawikanmanusia. Ketika setiap peserta didik mampu menguasai dirinya, mereka akan mampu juga menentukan sikapnya. Dengandemikian akan tumbuh sikap yang mandiri dan dewasa. Dalam konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara ada 2 hal yangharus dibedakan yaitu sistem Pengajaran dan Pendidikan yang harus bersinergis satu sama lain. Pengajaran bersifatmemerdekakan manusia dari aspek hidup lahiriah (kemiskinan dan kebodohan).
http://id.wikipedia.org/wiki/Pendapatan_nasional
Dalam berbagai sumber tulisan tentang pendidikan Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan harus dimulai dari persamaanpersepsi pemangku pendidikan tentang mendidik itu sendiri. Menurut Kihajar Dewantara mendidik dalam arti yangsesungguhnya adalah proses memanusiakan manusia (humanisasi), yakni pengangkatan manusia ke taraf insani. Di dalammendidik ada pembelajaran yang merupakan komunikasi eksistensi manusiawi yang otentik kepada manusia, untukdimiliki, dilanjutkan dan disempurnakan. Jadi sesungguhnya pendidikan adalah usaha bangsa ini membawa manusiaIndonesia keluar dari kebodohan, dengan membuka tabir aktual-transenden dari sifat alami manusia (humanis). Menurut KiHajar Dewantara tujuan pendidikan adalah penguasaan diri sebab di sinilah pendidikan memanusiawikan manusia(humanisasi). Penguasaan diri merupakan langkah yang harus dituju untuk tercapainya pendidikan yang mamanusiawikanmanusia. Ketika setiap peserta didik mampu menguasai dirinya, mereka akan mampu juga menentukan sikapnya. Dengandemikian akan tumbuh sikap yang mandiri dan dewasa. Dalam konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara ada 2 hal yangharus dibedakan yaitu sistem Pengajaran dan Pendidikan yang harus bersinergis satu sama lain. Pengajaran bersifatmemerdekakan manusia dari aspek hidup lahiriah (kemiskinan dan kebodohan).
http://id.wikipedia.org/wiki/Pendapatan_nasional
http://sofyan71sbw.files.wordpress.com/2010/05/distribusi-pendapatan-dan-kemiskinan-di-indonesia.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar